Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ayudisa


Aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Kuperkirakan ia seorang perempuan. Benar saja. Tak lama berselang, seorang gadis dengan jaket tebal berwarna biru muda membuka pintu. Ia mendorong masuk koper di sampingnya dengan kaki  kiri lalu melempar asal tas jinjing yang ia tenteng.


Rambutnya sedikit di bawah bahu, tidak keriting tapi juga tidak lurus. Warnanya hitam kecoklatan. Kulitnya tidak putih, tetapi ia mempunyai paras yang membuat semua orang ingin berlama-lama menatapnya.


Berani sekali ia datang di waktu seperti ini. Jarum pendek di jam dinding yang berada di seberang tempat tidur menunjuk angka tiga, artinya sebentar lagi subuh.


Dilepasnya jaket tebal yang membungkus tubuhnya lalu dilemparkan ke sofa warna merah mungur yang tak jauh dari tempat ia berdiri. Ia mengambil tas jinjing dan mengeluarkan pouch berwarna pastel. Setengah menyeret kaki, ia menuju meja rias di samping tempat tidur.


Wajahnya terlihat kuyu. Mungkin ia baru saja melakukan perjalanan cukup jauh. Tangannya mengeluarkan beberapa peralatan kosmetik yang tak kutahu namanya. Ia mengikat rambutnya sembarang, lalu mengusapkan kapas yang sudah ia tetesi dengan sejenis cairan bening. Ritual khas perempuan.


Apa semua perempuan menyukai melakukan pekerjaan yang membuang-buang waktu semacam itu?


Sudah hampir setengah jam ia duduk dan mengamati bayangan dirinya di cermin. Sesekali tangannya masih mengusap kapas ke pipinya yang tampak terawat. Apa ia sangat menyukai ritual ini? Kulihat kapas terakhir yang ia lempar ke tong sampah masih terlihat putih, bersih. Kurasa, sudah seharusnya ia menyudahi ini.


Ketika sedang asyik memperhatikan gadis yang belum kuketahui namanya ini, tanpa sengaja aku berhenti di matanya. Mata bermanik coklat yang sangat indah. Namun, aku seperti melihat sebuah telaga berkabut di dalamnya. Semakin kuselami, semakin terasa dingin dan menakutkan.


“Kamu tak usah mencariku lagi!” Aku dibuat kaget ketika dia melempar telepon selulernya ke atas tempat tidur setelah menghardik seseorang.


Mungkin dia sedang bertengkar dengan kekasihnya, pikirku.



Langit mulai menampakan warna. Semburat jingga di antara warna langit yang masih petang sepertinya menarik perhatian gadis itu. Ia beranjak dari tempatnya duduk, membuka jendela, dan menyibak gorden agar leluasa keluar. Lukisan paling indah membentang di atas sana. Tubuhnya menyandar pada tepian jendela. Matanya memandang jauh ke luar. Sesekali kudengar ia menghembuskan napas, lalu mencoba tersenyum. Aku yakin ada luka yang sedang ingin ia obati. 

Menjelang terbit fajar, pemandangan dari atas ini memang sangat indah. Sudah ratusan orang datang dan pergi. Mereka yang pernah singgah di sini selalu berharap dapat kembali datang. Bukan ... Bukan untuk bertemu denganku. Mereka datang untuk fajar dan senja di tempat ini. Tak apa, aku sudah cukup bahagia ketika mereka yang pernah datang ke mari akhirnya merindukan tempat ini. Apa lagi yang lebih indah selain tahu bahwa mereka menghabiskan kepalanya untuk selalu mengingatmu dan berharap bersua kembali. Ah, aku terlalu melakolis tampaknya! Bunyi ponsel teramat gaduh. Ia tak juga berniat mengambil ponselnya. Jika saja aku punya hak bicara, sudah kuperintahkan ia untuk mengangkatnya atau paling tidak mematikan nada deringnya. Benar-benar mengganggu romantisme fajar, langit, dan pagi. 

Aku bersyukur ketika melihat ia akhirnya mengambil ponsel yang tak juga berhenti berbunyi. Mungkin ia sama tak tahannya denganku.

“Ayudisa, kumohon kita perlu bertemu!” Lamat-lamat kudengar suara laki-laki dari dalam ponsel. Gadis cantik yang akhirnya kuketahui bernama Ayudisa itu hanya diam tanpa menjawab. Sesekali terdengar lenguhan berat

“Ayu, kita tak bisa berpisah tanpa penjelasan seperti ini! Kumohon, katakan di mana kamu berada? Aku akan segera ke sana,” ujar lelaki di seberang sana.

“Tak ada lagi yang harus dijelaskan. Semuanya sudah jelas. Mau dipaksa seperti apapun, kita tak mungkin dapat bersama. Dunia kita terlalu berbeda. Dan … ,” tiba-tiba Ayudisa sesengggukan. Ia tak lagi melanjutkan kata-kata yang ia ucapkan dengan sangat emosional sebelumnya.

“Aku tahu aku salah. Aku terlalu tunduk dan tak bisa memperjuangkanmu di hadapan keluargaku. Maaf!” lelaki di seberang sana berbicara nyaris berbisik.

Beberapa minggu yang lalu, berita di televisi juga heboh dengan romansa klasik semacam ini. Aku tak menyangka jika gadis yang menarik perhatianku sejak awal kadatangannya ternyata harus menanggung derita karena kisah cinta klasik macam ini.

Sekarang aku tahu mengapa Ayudisa tampak berbeda dengan tamu-tamu yang datang hari ini. Ia begitu spesial untukku. Terkadang, nasib tiba-tiba membuat ikatan tanpa kita sadari.

Sama sepertinya, aku juga sedang menyembuhkan luka. Mengamati beberapa orang yang datang lalu pergi adalah seperti obat penawar yang bisa sedikit mengurangi lara. Walaupun, pada akhirnya ketika tak ada seorang pun kamu akan melihat bahwa lukamu masih menganga.

Sebelum menjadi home stay bagi para tamu yang ingin menikmati fajar di Gunung Ungaran, rumah ini adalah rumah keluarga Didik Maryanto. Tak ada tangis dan amarah, hanya tawa dan saling goda. Pak Didik dan istrinya adalah potret keluarga idaman. Sampai pada suatu hari, kulihat Pak Dodik tergesa mengemasi pakaiannya ke dalam koperrsis seperti waktu Ayudisa datang tadi.

Semetara itu, di kamar Riana dan Riani istri Pak Dodik berlinang air mata. Sekarang, kamar itu berada dua kamar dari sini. Riana dan Riani masih lelap.  Mereka sangat cantik jika tertidur.

Sehari, seminggu, sebulan hingga berbulan-bulan lamanya Pak Dodik tak pernah kembali. Bahkan, istri Pak Dodik dan kedua putrinya pun akhirnya ikut pergi. 

Rumah ini tiba-tiba menjadi sangat sunyi.  Setiap hari aku menunggu, berharap jika mereka hanya berkunjung ke rumah kakek si kembar di Jogja atau sekadar menginap di hotel beberapa saat. Nyatanya, hingga saat ini, delapan tahun setelah mereka pergi mereka tak pernah kembali. Ada beberapa perpisahan yang sulit untuk dijelaskan. Ada beberapa perpisahan yang tak perlu kata berpisah. Sepertiku, Ayudisa hanya membutuhkan waktu.
Susana Devi Anggasari
Susana Devi Anggasari Hai, saya Susana Devi. Mamak dari Duo Mahajeng, Mahajeng Kirana dan Mahajeng Kanaya. Untuk menjalin kerja sama, silakan hubungi saya.