Jadi Guru di Masa Pandemi?
Jadi guru di masa pandemi ini rasanya nano-nano. Manis, asem, asin; rame rasanya. Serba salah. Mau maju, diteriaki dari belakang. Mau mundur disoraki dari depan. Lah, kudu piye jal?
Makan Gaji Buta
Enak yo dadi guru! Mulang tetep dibayar!
(Enak ya jadi guru! Tidak ngajar tetap digaji!)
Sing mulang simboke, sing dibayar gurune!
(Yang ngajar ibunya, yang digaji gurunya)
Aduh ... duh ... duh! Tahukah Netizen yang terhormat, pernyataan semacam itu melukai hati kami. Aturan belajar di rumah ini bukan mau kami. Kalau boleh memilih, kami lebih memilih melaksanakan tugas kami di sekolah, mendidik putra-putri panjenengan!
Lha situ ngajar anak, anak sendiri, bukan anak orang lain. Kok yao bisa ndak ikhlas? Kami, jauh sebelum Si Corona menyerang, mengajar puluhan bahkan ratusan anak yang bukan anak kami. Namun, sama sekali tak pernah terbersit rasa tidak ikhlas. Bahkan, ketika melihat salah satu dari mereka murung di kelas, makan pun kami tak tenang.
Situ mah enak, gregetan bisa ngomel. Malah ada siswa yang curhat kalau belajar dengan ibunya kadang sampai dicubit kalau enggak ngerti-ngerti. Lah kami? Nyenggol sedikit saja bisa diperkarakan. Padahal ya begitu, ngajar anak itu enggak selalu mulus. Banyak jalan terjalnya, kadang malah berkerikil dan berbatu. Belum lagi, menghadapi anak yang sedang puber itu dramanya melebihi drama-drama Korea yang bisa situ tonton ketika kami mengajar anak-anak situ. Paling banter kami cuma bisa ngelus dada.
Dikasih Tugas Salah, Dibiarin Salah
Yang namanya belajar, asal muasalnya kan memang masalah. Bapak-ibu guru di sekolah memberi tugas bukan semata untuk bisa mencetak raport. Namun, agar anak belajar dari masalah. Lah, kalau orang tua di rumah misuh gara-gara tidak bisa mengerjakan tugas yang diberikan para guru, boleh berarti kami misuh kenapa tugas anak situ yang ngerjain?
Gengsinya diturunin. Tugas yang diberikan semata untuk mengukur sejauh mana kemampuan siswa memahami pelajaran. Ya kalau memang belum paham, ya jangan dituntut paham. Memang, Bapak dan Ibu yang budiman mau kalau anaknya dapat nilai tertinggi di kelas tapi nanti setelah lulus enggak bisa ngapa-ngapain? Sudah, kami hanya minta dibantu. Cukup dampingi anak-anak ketika harus belajar di rumah, bukan mengerjakan tugas mereka. Pekerjaan kami lho belum selesai setelah ngasih tugas. Kami harus menthelengi layar untuk mengoreksi😞. Sungguh itu membuat mata sepet.
Lagipula nih Pak-Bu, kalau siswa tidak dikasih tugas kami juga diprotes. Ini kenapa anak kami ditelantarkan? Ujug-ujug mak bendudug kami dapat teguran dari atasan. Pandemi bukan berarti tidak belajar. Pendidikan harus tetap berjalan.
Aku njur kudu piye, Bu?
Sudahlah Pak-Bu, kita sama-sama sedang berada di masa sulit. Jangan terlalu banyak sambat dan misuh. Ini saatnya kita bergandengan tangan. Pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama, tanggung jawab kita.
Sekolah Dilarang, Ya Anak Jangan Boleh Keluyuran!
Menjelang sistem pembelajaran daring di sekolah kami, kami pernah mendatangkan anak. Sudah sesuai protokol. Dibagi per sesi. Jumlah siswa terbatas. Memakai Masker. Duduk Berjarak. Lha mau gimana lagi, untuk ukuran wong ndeso, login ke aplikasi conference itu butuh panduan. Sekalipun sudah ditulis tahap demi tahap, yang berhasil melakukan bisa dihitung degan jari. Tahu Pak-Bu, setelah itu ada surat dari Bupati yang melarang adanya aktivitas yang menghadirkan siswa.
Saya sendiri tidak tahu pasti apakah surat tersebut imbas dari apa yang kami lakukan, tapi ya kayane enggak mungkin Bupati tahu wong sekolah kami ndeso banget. Namun, saya yakin banyak yang menempuh langkah semacam ini. Baiklah, kami mengaku salah. Tidak ada lagi aktivitas yang melibatkan siswa untuk datang ke sekolah.
Namun, benarkah ketika anak tidak boleh ke sekolah mereka diam di rumah? Nyatanya tidak! Setiap saya berangkat atau pulang ke sekolah, saya masih menjumpai banyak anak usia sekolah yang kadang sliwar-sliwer di jalanan. Parahnya, mereka juga tidak memakai masker. Pernah saya melaksanakan kunjung rumah di salah satu siswa saya. Saya tak berhasil bertemu dengan siswa saya. Bahkan, si ibu pun tak tahu ke mana gerangan anaknya pergi.
Aduh, kalau seperti ini terus. Apa gunanya sekolah di rumah? Bukannya sekolah di rumah adalah salah satu bentuk antisisapi antisipasi penularan Corona? Lah, kalau mereka enggak boleh ke sekolah tapi boleh pergi ke mana mereka suka, apa bedanya?
Kuota oh Kuota
Bu saya izin kuota saya habis.
Maaf, Bu. Saya tidak ikut daring karena belum isi kuota.
Lalu, setelah itu status Whatsapp anak tentang game online yang sedang dimainkan. Kalau sudah begini, rasanya kudu salto! Memang tidak semua yang mengaku kuota habis itu bohong. Namun, saya yakin sebagian besar siswa menjadikan kuota sebagai andalan melarikan diri dari pembelajaran daring. Mari kita lihat setelah ini, apakah setelah mereka mendapat bantuan kuota dari Pemerintah mereka tak ada lagi yang membolos?
Memang, salah satu unsur penunjang keberhasilan pembelajaran daring adalah ketersediaan kuota. Namun, percayalah! Kuota yang dihabiskan untuk mengakses pembelajaran tak lebih besar dari kuota yang disedot untuk ngegame atau ngeyoutube. Terlebih, saat ini masing-masing provider seluler memiliki program kuota belajar atau kuota edukasi.
Belajar Mati-matian, Lalu Mati Gaya
Tidak semua guru berkarib dengan gadget, terlebih para guru yang seusian bapak atau ibu saya. Untuk tetap bisa melaksanakan tugas, banyak dari mereka yang begadang untuk belajar mengenal fitu-fitur penunjang belajar online. Mereka juga belajar membuat presentasi yang menarik. Dari yang awalnya takut-takut jika membuka laptop, hingga sekarang laptop menjadi barang bawaan wajib.
Di tempat saya ngajar, tidak ada lagi tuh suasana ingar-bingar pada jam-jam istirahat. Bapak-ibu guru sibuk dengan laptop masing-masing. Ada yang mengoreksi tugas, membuat soal online, mengecek kehadiran. Paling terdengar celetukan sesekali jika mereka mengalami kendala.
Sayangnya, usaha ini tidak diimbangi dengan hasil yang memuaskan. Di setiap pembelajaran daring yang dilakukan, ada setengah dari jumlah siswa yang ikut itu sudah sebuah anugerah tersendiri. Selama pembelajaran, siswa yang aktif juga itu-itu saja. Mungkin hanya mereka yang biasanya duduk di deretan bangku depan ketika masih sekolah tatap muka. Dari seluruh kelas yang diajar, paling hanya sebagian yang mau mengerjakan tugas. Padahal, konon mau sepayah apapun, orang tua sudah berusaha memberikan fasilitas untuk anaknya.
Pernah ada salah satu orang tua siswa dipanggil ke sekolah karena anaknya tidak pernah mengikuti pembelajaran. Orang tua tersebut tak menyangka. Ia bahkan rela berhutang untuk membelikan HP baru untuk anaknya. Bahkan setiap minggu ia mengaku membelikan kuota internet untuk anaknya. Pemberitahuan ini tentu saja memukul hatinya.
Kesadaran untuk belajar memang masih rendah. Mereka, para siswa, tidak merasa butuh untuk belajar. Padahal, salah satu keberhasilan berlajar secara daring adalah kebutuhan untuk menimba ilmu. Tanpa adanya kebutuhan ini, tak ada motivasi yang membuat mereka tergerak untuk belajar.
Penutup
Jujur, kami lelah dengan kondisi ini. Ngajar di depan laptop. Video anak terpaksa dimatikan karena rata-rata siswa kami ngakunya sering kehabisan kuota. Padahal tatap muka virtual sehari hanya dilakukan 2 kali, itu pun masing-masing hanya setengah jam. Kami tidak tahu selama kami ngecuwis, apakah kami ditinggal dolan atau ditinggal tidur. Jadi, mari kita sama-sama berjuang agar virus ini segera selesai. Tak perlu dulu deh keluar rumah jika tidak mendesak. Awasi anak-anak untuk tidak nongkrong dulu. Jangan lupa ingatkan untuk memakai masker!
Salam,
1 komentar untuk "Jadi Guru di Masa Pandemi? "
Beberapa orang tua murid kadang sampai pasrah kalau anak mendapat tugas dan anaknya gak bisa mengerjakan.
Sugeng rawuh di susanadevi.com. Silakan tinggalkan jejak di sini. Semua jejak yang mengandung "kotoran" tidak akan ditampilkan ya!