Bingung Mau Jadi Wanita Karier atau Ibu Rumah Tangga?
Tahun 2015 saya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga yang bekerja penuh waktu di rumah. Tahun 2018 saya memutuskan kembali bekerja di luar rumah. Pekerjaan utama saya masih sama: Ibu Rumah Tangga, hanya bedanya saya harus melakukan pekerjaan lain sebagai abdi negara.
Karena pengalaman saya pernah resign dan menjadi ibu rumahan, beberapa sahabat lari ke saya sebelum memutuskan resign dari pekerjaannya. Sebagian ada yang merasa lebih mampu mengembangkan diri, beberapa ada yang merasa menyesal keluar dari pekerjaannya. Jika Kawan Suzan sedang ada yang dalam fase ini, mungkin beberapa pertimbangan berikut bisa teman-teman terapkan sebelum memutuskan untuk bekerja di dalam rumah atau di luar rumah.
1. Buang Konsep “Ibu Rumah Tangga itu Pengangguran”
Ini adalah masalah klise. Dari zaman bahela, emak-emak yang lebih banyak pakai daster daripada blus dianggap pengangguran. Bagi saya, memilih di rumah maupun di luar rumah, ibu rumah tangga tetaplah ibu pekerja. Sangat tidak manusiawi bila ada yang mengatakan bahwa ibu rumah tangga tidak bekerja.
Coba bayangkan, sejak membuka mata hingga menutup mata lagi, ibu tidak habisnya mengerjakan sesuatu. Dari menyiapkan makanan untuk keluarga, menyiapkan keperluan suami dan anak-anak, membersihkan rumah, mengasuh anak, hingga mengatur keluar masuknya duit agar neraca keuangan keluarga tetap seimbang. Begitu masih dibilang enggak berkerja. Bukankah itu terdengar sangat biadab?
Pada tahap-tahap awal menjalani masa jadi ibu rumahan, biasanya ibu akan mengalami post power syndrome. Ibu akan mengalami masa minder dan merasa tidak berarti. Belum lagi ditambah komentar negatif yang biasanya akan terlontar dari orang-orang terdekat.
“Ih, sayang banget. Udah di posisi enak, malah milih di rumah.”
“Kalau mau jadi ibu rumah tangga, ngapain sekolah tinggi-tinggi!”
Wuih, bener-bener sedep banget deh kata-kata semacam ini. Kadang mereka yang melontarkan kalimat ini sebenernya hanya bercanda. Namun, bagi ibu yang sedang mengalami transisi dari pekerja kantoran jadi pekerja rumahan, hal ini lebih menyakitkan ketimbang ditikam pisau bertubi-tubi.
Jadi, jika Kawan Suzan memang mau memutuskan menjadi ibu yang sepenuh waktunya di rumah, yakinkan pada diri teman-teman bahwa sekalipun di rumah teman-teman tetap bekerja. Teman-teman tetap melakukan sesuatu yang berharga.
Memasak itu berharga. Menjaga rumah tetap bersih itu berharga. Mengasuh anak dengan tangan sendiri itu berharga. Apa yang ibu kerjakan di rumah bukan sekadar pekerjaan “cuma”. Semua pekerjaan rumah yang ibu kerjakan adalah pekerjaan yang harus diberi harga, bukan dianggap sebelah mata.
2. Paham dengan Segala Konsekuensi
Mau bekerja di dalam rumah atau di luar rumah, semua ada konsekuensinya. Sama-sama ada enak dan tidak enaknya. Ibu, sebelum memutuskan mau jadi ibu rumahan atau kantoran, harus tahu dan paham betul konsekuensi atas pilihan yang diambil.
Ibu yang bekerja di luar rumah tentu akan memiliki waktu yang lebih sedikit dibanding ibu yang memilih sepenuhnya berada di rumah. Ibu yang memilih di rumah tentu memiliki akses ke luar rumah yang lebih sedikit dibanding ibu kantoran Pertanyaannya adalah kamu siap enggak?
Dengan memahami semua konsekuensi yang muncul, tak ada lagi alasan untuk menyesal bekerja atau menyesal tinggal di rumah. Dengan memahami konsekuensi yang muncul, Ibu akan fokus untuk menyiasatinya konsekuensi yang timbul agar tak menjadi masalah berkepanjangan.
3. Kembangkan Diri dengan Sesuatu yang Disukai
Menjadi ibu rumahan tak lantas membuat hidup kita hanya berkutat seputar dapur, sumur, dan kasur. Bangunlah, Esmeralda! Kita hidup di era industri 4.0. Mudah sekali menggenggam dunia. Tak harus keluar rumah untuk berekspresi dan berkreasi.
Sewaktu menjalani menjadi ibu rumahan, Mamak Mahajeng sempat merasa depresi dengan kegiatan yang monoton. Pekerjaan yang sama dan tak ada tantangan. Ketika pekerjaan rumah sudah beres, anak tidur, nah … puncak emosi melanda. Bingung mau ngapain.
Untungnya, hobi berselancar di media sosial membuat saya menemukan sesuatu yang saya senangi. Saya jadi sadar bahwa saya mulai tertarik dengan menulis. Lalu, saya mulai tertarik ngeblog. Dua kegiatan ini benar-benar membuat saya merasa bahwa saya tetap hidup. Tak ada alasan lagi untuk merasa kosong dan monoton.
Intinya, Kawan Suzan hanya perlu menemukan apa yang membuat teman-teman senang dan bersemangat melakukannya. Karena musuh utama menjadi ibu rumahan adalah bosan dengan rutinitas. Syukur-syukur jika akhirnya kesenangan tersebut justru menjadi sumber penghasilan.
4. Cek Keuangan Keluarga
Uang itu memang sepele tapi tak bisa disepelekan. Dulu sewaktu saya memutuskan menjadi ibu rumahan, suami saya adalah PNS golongan IIIa yang baru diangkat dan gajinya tidak utuh lagi. Kalau tidak salah waktu itu hanya Rp700.000. Bayangkan apa yang bisa didapat dengan uang segitu?
Antara nekat dan bodoh memang. Namun, satu hal yang saya yakini. Sekalipun tidak lagi bekerja, rejeki saya pasti ada. Entah mengalir dari kran yang mana. Toh, sampai sekarang kami masih hidup dan bahagia. Body saya yang ginuk-ginuk ini tentu bisa membuktikan bahwa hidup saya jauh dari sengsara.
Saya pernah hidup susah, tapi itu tidak menjadikan saya merasa sengsara. Saya dan pak Taji pernah berada di fase sulit ekonomi, bahkan membeli bensin untuk motor saya enggak kuat. Namun, dari sana kami belajar bahwa asalkan mau bergerak, ada banyak rezeki yang siap dikucurkan. Saya pernah belajar membuat jajanan untuk dititipkan di kantin sekolah. Seorang DEVI, yang belajar masak ketika sudah bersuami, belajar membuat penganan untuk dijual. Sempet banyak keluarga yang enggak percaya. Namun, waktu itu saya justru bisa nabung. Itulah rezeki. Konsep hitung-hitungan matematika itu beda banget sama konsep hitung-hitungan rezeki.
Capai? Banget. Sulit? Iya. Namun, saya bahagia saja karena saya enjoy dengan setiap fase kehidupan yang saya jalani.
Ketika Kawan Suzan memutuskan untuk resign, cek keuangan keluarga. Apakah uang yang diberikan suami sudah mencukupi semua kebutuhan keluarga? Kalau uang suami masih jauh dari cukup, apakah Kawan Suzan siap berpikir dan bekerja lebih keras untuk menutup kekurangannya? Hal apa kiranya ymenamang bisa teman-teman lakukan untuk menambah pundi-pundi keluarga sekalipun berada di rumah.
5. Analisis Untung Rugi
Saya sebenarnya senang menjadi ibu rumahan. Saya jadi merasa dekat dan lebih berarti untuk anak-anak. Saya bisa mengasuh anak-anak dengan kurikulum ala-ala saya sendiri. Untuk pengasuhan, saya lebih idealis ketimbang ketika saya sudah bekerja seperti sekarang.
Lalu, mengapa saya kembali bekerja? Diskusi saya dan Pak Taji di meja bundar ketika makan membuat saya memutuskan kembali bekerja. Secara jujur, Pak Taji memang lebih suka saya berada di rumah saja. Mengurus keperluannya juga anak-anak. Namun, Pak Taji justru berpikir jauh ke depan. Ayahnya anak-anak menjabarkan plus dan minus-nya jika saya bekerja maupun di rumah saja. Akhirnya, bismillah. Saya kembali ke luar rumah.
Kondisi setiap orang tentu berbeda. Apa yang baik bagi saya belum tentu baik untuk yang lain; begitu juga sebaliknya. Kalau Kawan Suzan sedang galau antara mau resign atau tidak, baiknya diskusikan dengan pasangan. Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan bermanfaat.
Mau bekerja di luar rumah atau di dalam rumah, ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang mulia. Salam dari Mamak Mahajeng, Ibu rumah tangga yang nyambi jadi abdi negara!
Posting Komentar untuk "Bingung Mau Jadi Wanita Karier atau Ibu Rumah Tangga?"
Posting Komentar
Sugeng rawuh di susanadevi.com. Silakan tinggalkan jejak di sini. Semua jejak yang mengandung "kotoran" tidak akan ditampilkan ya!